
Andi Amran Sulaiman melemparkan pernyataan yang menyentak nalar publik: ada seorang pengamat pertanian yang disebutnya sebagai “musuh negara” dan akan segera dipenjara.
Berkasnya, kata Amran, sudah dikirim ke aparat penegak hukum. Tanpa menyebut nama, menteri menyebut sosok itu berasal dari kampus ternama dan pernah menerima proyek kementerian yang diduga fiktif.
Pernyataan ini bukan hanya mencengangkan, tetapi juga membahayakan.
Bahaya pertama: pergeseran makna “musuh negara” dari istilah politis-ideologis menjadi alat stigmatisasi terhadap kritik.
Bahaya kedua: kekuasaan eksekutif mengambil alih peran aparat penegak hukum dengan menjustifikasi kemungkinan vonis di muka umum.
Bahaya ketiga—dan paling serius—adalah ancaman terhadap ruang akademik, kebebasan berpendapat, dan partisipasi sipil.
Dalam negara hukum, kritik adalah bagian dari demokrasi. Pengamat dan akademisi—apapun pandangannya—memiliki hak yang dilindungi konstitusi untuk mengawasi, mengevaluasi, bahkan menolak kebijakan publik.
Maka, ketika seorang menteri mengasosiasikan kritik dengan kriminal, ini bukan sekadar reaksi emosional, melainkan pengkhianatan terhadap prinsip dasar demokrasi.
Mari kita telaah pernyataan Menteri Amran secara lebih teliti. Ia menyebut bahwa pengamat tersebut pernah menerima proyek dari Kementerian Pertanian—diduga fiktif—dan kini berbalik mengkritisi kebijakan.
Amran lantas menyebutnya sebagai “musuh negara”, seolah kritik itu bukan karena integritas, melainkan karena kepentingan yang terganggu.
Namun, masalahnya, alih-alih menyerahkan kasus itu ke aparat untuk bekerja dalam diam dan objektif, pernyataan ini justru dibuka ke publik secara insinuatif.
Apakah ini bentuk pelaporan? Ataukah intimidasi? Ataukah ini pesan peringatan bagi pengamat dan akademisi lain agar menjaga lidah mereka tetap jinak?
Dalam sejarah hukum Indonesia, kita telah berkali-kali melihat bagaimana pembungkaman kritik dilakukan melalui pembingkaian hukum.
Pasal karet seperti pencemaran nama baik, ujaran kebencian, hingga pasal perbuatan tidak menyenangkan, digunakan untuk menjerat mereka yang berbeda pendapat.
Kini, tambah lagi satu ancaman: proyek masa lalu yang diseret ke ranah pidana dengan narasi politis.
Leave a Reply